Bulan
Agustus menabalkan sejarah penting bukan hanya bagi proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Namun, juga terkait perkembangan dan perubahan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal itu sebagaimana terlihat dalam sejarah perang
dunia dimana berakhir pada bulan Agustus. Hiroshima dan Nagasaki mendapati
penjatuhan secara sengaja bom nuklir dengan jenis berbeda masing-masing pada 6
dan 9 Agustus 1945.
Kita
melihat peristiwa itu tak sebatas peristiwa ilmu pengetahuan, khususnya
perkembangan energi nuklir maupun politik semata. Namun, percampuran antara
ilmu pengetahuan, teknologi, politik, hingga militer. Pada kacamata ilmu
pengetahuan, peristiwa itu tertandai juga sebagai kompromi untuk pertama
kalinya para ilmuwan dalam kancah peperangan.
Kosmolog
dan astronom perempuan, Karlina Supelli (2011) memberikan pengakuan bahwa dua
kejadian itu tak henti-hentinya ia gunakan dalam berbagai ceramah berkaitan
dengan ilmu pengetahuan. Peristiwa menjelma pada berbagai persoalan. Netralitas
ilmu pengetahuan, relasi antara ilmu dalam kancah politik, hingga persoalan
etika ilmu. Tentu itu beralasan, bagaimana hasil riset ilmuwan dan laboratorium
pada akhirnya disalahgunakan menjadi senjata pemusnah massal.
Dalam situasi perang dingin selepas berakhirnya perang dunia, di bawah kepemimpinan Sukarno, pengembangan nuklir menjadi salah satu cita-cita besar yang ia idamkan untuk bangsa Indonesia. Di berbagai tulisan, pidato, hingga konsolidasi energi nuklir tersematkan dalam ucapan Sukarno. Dalam situasi tersebut, satu pidato bersejarah yang selalu dikenang adalah pidato saat muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung tahun 1965.
Kita
tergerak pada penelusuran langkah-langkah dalam memperkenalkan istilah energi
nuklir bagi masyarakat secara umum. Energi nuklir ataupun atom mendapati
peorasi bahasa saat bom atom ditemukan. Masyarakat terbawa pada satu pemahaman
bahwa segala hal yang berhubungan dengan energi nuklir itu menakutkan,
membahayakan, dan penuh masalah. Istilah itu masih sulit untuk dipahami sebagai
bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada
tarikh 1953, Asrul Sani memberi peran dengan menerjemahkan sebuah buku tentang
nuklir. Buku itu garapan H. Groot dalam bahasa Indonesia berjudul Pemetjahan Atom diterbitkan oleh
penerbit Buku Burung bagian dari penerbitan W. Van Hoeve Bandung. Penghadiran
buku semata-mata bukan hanya energi nuklir ingin dijadikan pemahaman terkait
ilmu pengetahuan, namun juga berubungan negara-negara luar berpengaruh dalam
membentuk ilmu pengetahuan di Indonesia.
Sementara
itu, di majalah-majalah pada zaman tersebut, pengetahuan tentang nuklir mengisi
rubrik-rubrik di dalamnya. Kita menemukan di Majalah Pengantar Pengetahuan dengan kepunyaan slogan berupa: Madjalah
Bulanan pembangkit minat kepada Ilmu dan Teknik. Penerbitan majalah terlihat
penting bahwa persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi mesti diurus dengan
serius.
Di
edisi Agustus-September tahun 1951, para pembaca menemukan sebuah tulisan
berseri dari B. Susilo dalam rubrik Tuan dan Atom. Saat itu tulisannya berjudul
Dari Democritus Sampai Ke Hiroshima.
Tulisan menjelaskan sejarah dan perkembangan dari atom dengan segalakemunginan
terhadirkan baik yang menguntungkan maupun merugikan. Atom menjadi salah satu
bagian penting dalam revolusi industri ketiga.
Perdamaian Atom
Nuklir
dilakukan pada era Soekarno bukan sebatas pada penerbitan tulisan dalam
majalah, pidato, maupun buku. Ia juga berurusan pada kesepakatan perdamaian
dunia. Perang dingin berlangsung seusai berakhirnya Perang Dunia II. Dalam
perang tanpa angkat senjata, negara-negara berebut pengaruh ideologi dan
kepentingan. Amerika Serikat dengan liberalisme dan Uni Soviet dengan sosialisme.
Indonesia pada masa Sukarno memilih non blok. Tak condong kepada dua corak itu.
Situasi
itu rupanya juga membawa isu nuklir dan ilmu atom dalam pembahasan panjang akan
kesepakatan dunia. Bahwa pengembangan nuklir harus diakhiri sebagai sarana
untuk membuat bom atom, namun perlu diarahkan pada pengembangan yang memberi
manfaat bagi kehidupan banyak orang. Bung Karno ambil peran. Ia berkunjung ke
Amerika Serikat saat ada pertemuan untuk membahas atom untuk perdamaian dunia
pada 1956.
Bukti
itu kita temukan dalam buku Atom untuk
Perdamaian. Penjelasan tersampaikan: “Presiden Sukarno mengundjungi
Laboratorium Phoenix pada Universitas Michigan selama kudjungannja di Amerika
Serikat. Disana beliau menindjau pekerdjaan dalam memadjukan pemakaian tenaga
atom setjara damai, suatu gerakan jang disebutnja sebagai ‘revolusi atom’.”
Kita
masih memikirkan warisan pemikiran Sukarno dalam momentum 77 tahun kemerdekaan
Republik Indonesia. Impian Sukarno tentang kemandirian nuklir bagi republik ini
agaknya belum tercapai sepenuhnya. Justru kemudian kita diingatkan sebuah
liputan, Mengapa Perlu NPT di Majalah
Tempo edisi 26 Agustus 1978. Liputan
menjelaskan kenyataan bahwa Indonesia belum mendatangani kesepakatan untuk
menentang penyebaran senjata-senjata nuklir di bawah keanggotaan PBB.
Kita ingin mengenang dan kemudian merenungkan saat Sukarno bersama Hatta membacakan teks proklamasi untuk konteks hari ini. Rupa-rupanya proklamasi adalah proses panjang. Termasuk di dalamnya bagaimana mewujudkan kemerdekaan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi yang digagas para pendiri bangsa seperti halnya Sukarno mesti terus direfleksikan dalam hari-hari panjang menjadi orang Indonesia untuk tujuan bersama.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.