Di
Harian Kompas Edisi Sabtu, 16 Juli
2022, pembaca diajak membelalakkan mata pada salah satu liputan di halaman
lima. Liputan berjudul Ilmu Pengetahuan
dalam Seni Botani garapan Sekar Gandhawangi. Tak sedikit pembaca kiranya
takjub dan terbawa pada kenangan akan perihal botani. Meski istilah terlalu
ilmiah, namun tiap orang pasti memiliki pengalaman, baik itu di masa sekolah
atau dalam aktivitas lain di kehidupannya.
Terkait
kenangan tergambarkan dari paragraf dalam liputan: “Galeri nasional kali ini
bak rumah kaca. Dindingnya dipasang 58 gambar tumbuhan asli Indonesia yang
dibingkai pigura. Ada berbagai tanaman hias, pala, cengkeh, anggrek, kumis
kucing, bintaro, hingga aren. Beberapa lainnya adalah tanaman yang mungkin
jarang dilihat karena hanya tumbuh di daerah tertentu.”
Kita
makin yakin bahwa liputan tentang pameran yang dilaksanakan di Galeri Nasional
berlangsung pada 7 Juli – 8 Agustus 2022 itu akan menggelorakan masa lalu. Para
pengunjung tak dapat berinteraksi secara langsung dengan jenis tanaman
tersebutkan. Mereka hanya disajikan lukisan maupun gambar, kebutuhan khas di
zaman ini. Bagaimana tidak, bicara botani akan membawa pada perkara fungsi
lahan dalam perhatian akan tumbuh-tumbuhan.
Berangkat
dari liputan itu, kita justru tergerak untuk menengok sebuah buku pelajaran
yang diperuntukkan anak-anak Sekolah Menengah Atas dan sederajat pada tahun
1961. Buku berjudul Botani edisi A garapan
Dr. K. B. Boedjin dan J. R. Kuperus yang diterjemahkan oleh Soeparma
Satiadiredja. Di hadapan mata buku telah masuk cetakan ketujuh tahun 1961 oleh
Penerbit-Negara Pradnja-Paramita.
Judul
terbahasakan ilmiah. Kita hendak mencari pembuka untuk mendapatkan arti dari
“botani”. Di bagian pendahuluan, paragraf pembuka tertulis: “Machluk hidup atau
organisme, dibagi dalam hewan dan tumbuhan-tumbuhan. Ilmu hajat atau biologi, jaitu pengetahuan tentang
machluk hidup, jang mengenai hewan disebut ilmu hewan atau zoölogi, jang mengenai tmbuh-tumbuhan dinamai ilmu tumbuh-tumbuhan
atau botani.”
Pembuka
memancing gairah keingintahuan untuk membuka halaman demi halaman selanjutnya.
Kita terus terngiang-ngiang dan menemukan ingatan pengalaman terhadap botani
maupun ilmu tumbuhan. Khususnya saat masa dulu di sekolah baik dari dasar
hingga menengah. Penulis ketika menapaki masa sekolah dasar sejak awal tahun
2000-an hanya punya ingatan botani terkenang saat praktik mencangkok dan
menyetek tanaman, memahami jenis daun puring, hingga menyemai biji kacang dalam
kapas.
Oh,
betapa terlalu menderita dan bernasib kurang beruntung dalam mendapati
pengajaran terkait botani. Botani tak termiliki pengalaman yang ilmiah, penuh
dengan ilmu pengetahuan, dan aktivitas empiris dan rasional yang bisa
dikisahkan. Ya, barangkali tidak sedikit murid bernasib sama seperti penulis.
Ada masalah yang kiranya perlu dipikir dalam pengajaran tumbuhan terhadap murid-murid
di sekolah. Konon, murid-murid lebih punya kecenderungan terhadap hewan. Baik
itu ingatan, lagu, hingga gambar.
Melihat
itu, tentu kita terpikir buku-buku berkaitan dengan botani akan bernasib
penting bagi banyak kalangan. Meski terdapat babak bahwa Indonesia perlu
melakukan penerjemahan atau dalam hal ini adopsi. Kelihatan biasa-biasa saja,
namun terdapat masalah. Pilihan cara pandang dalam mengadopsi pengetahuan
kadang keliru. Kita terbawa situasi ilmu pengetahuan asal. Tak dibarengkan
dengan proses kultural yang ada di sekitar.
Indonesia
pernah berada pada masa itu. Penerjemah buku, Soeparma Satiadiredja memberi
kata pengantar: “Terdjemahan buku karangan Boedijn dan Kuperus ini hendaklah
dipandang sebagai langkah pertama untuk mentjukupi kebutuhan masyarakat akan
buku ilmu tumbuh-tumbuhan dalam bahasa Indonesia bagi peladjar S. M. A dan
sekolah2 jang sederadjat dengan itu. Adapun isinja, mungkin belum
lengkap atau belum sesuai dengan rentjana peladjaran disekola-sekolah
tersebut.”
Upaya
menghadirkan buku meski di bawah keterpaksaan. Demi masa depan anak-anak tentu
saja agar tak terlambat mengenal dan memahami ilmu tumbuh-tumbuhan. Bahkan
sekalipun berkaitan mengenai bahasa. Mungkin, bahasa Indonesia belum cukup
menuju kepada istilah-istilah ilmu pengetahuan. Soeparma juga memberikan
pengakuan: “Tambahan pula masih banjak kata2 istilah dalam bahasa
asing jang terpaksa diindonesiakan, karena belum ada istilah resmi.”
Penjelasan
yang memberi pengesahan bahwa botani maupun ilmu tumbuh-tumbuhan perlu meniti
jalan panjang di Indonesia. Ia tak sebatas melakukan kerja penerjemahan dan
pengadaan buku ajar atau hanya mengajarkan murid-murid di sekolah untuk mencangkok
maupun menyetek tanaman, membedakan jenis daun puring, hingga menumbuhkan biji
kaang pada kapas. Ia kemudian hari juga berurusan dengan seni.
Hal
menarik justru terkait keberadaan salah satu penyusun buku Botani, Dr. K. B. Boedjin. Di beberapa generasi, ia membuat
orang-orang kagum dan terkenang dengan karya-karyanya. Kesan yang jujur atas
keberangkatan dari ruang pengalaman dan sentuhan tangan pada halaman demi
halaman buku yang dihadirkan. Itu akan membuktikan bahwa tokoh penting bagi
dunia botani di Indonesia.
Kesan
pernah tertulis oleh Andi Hakim Nasoetion, tokoh penting bagi ilmu pengetahuan
Indonesia. Ia menulis dalam sebuah esai, Bacaan
Paling Berkesan Semasa Kecil, satu dari sekian tulisan di buku Pola Induksi Seorang Eksperimentalis (IPB Press, 2002). Tulisan terbuat
setelah pertemuan dengan Karlina Supelli, salah satu ahli astronomi pertama termiliki
Indonesia dalam sebuah acara seminar di IPB Bogor.
Ia
menulis: “Namun untung buku-ajar HBS tulisan K. B. Boedjin sangat menarik dan
dilengkapi gambar-gambar pena yang dibuatnya sendiri. Boedjin kalau tidak menjadi
ahli botani mungkin akan menjadi seniman. Putrinya semata wayang akhirnya menjadi
penari balet dan ia terheran-heran mengapa ada darah seni tercecer ke dalam
tubuh putrinya.” Oh, Andi Hakim Nasoetion sejak HBS telah berinteraksi dan
terbentuk gairah ilmiahnya dari sosok itu. Botani memang seni.[]
*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.