(Traffict Light) Itu Dilanggar Saja, Ndak Usah Dipatuhi!

“Jancuk”, idiom penuh tanda tanya dengan nada yang cukup keras keluar dari lisan seorang Ndlahom, yang pada pagi itu memboncengkan Karjo menuju ke kampus tercinta.
Cangkemnya itu mbok ya dijaga  gitu, to Hom. Ngaget-ngageti orang aja. Cangkemu apa gak pernah disekolahke?” Karjo dengan nada membentak, mengingatkan Ndlahom atas apa yang diucapkannya. Dia yang sedang asyik diboncengkan menuju ke kampus sambil mainan gawai yang dimilikinya. Dia merasa kaget atas ucapan Ndlahom yang tiba-tiba keluar dari mulutnya. Namun, Ndlahom masih santai dengan keadaaan konsentrasi memegang stir sepeda motor milik Mat, yang juga teman sekontrakan mereka berdua.
“Gak begitu, Mas Karjo. Ini mungkin luapan kekecewaanku yang keluar secara spontan. Aku heran dengan keadaan di pertigaan ini. Semenjak aku jadi mahasiswa di kampus ini, yang sampai sekarang baru dua bulan selalu bertanya-tanya.”
“Maksudmu gimana, Hom? Kamu mempermasalahkan peraturan traffic light yang ada di pertigaan ini? Atau kamu mempermasalahkan banyak dari mahasiswa selain kita yang tak menggunakan helm atau pelindung kepala? Atau kamu mempermasalahkan para pengguna jalan yang kesannya kebut-kebutan kaya gini dan membahayakan banyak orang?”
“Iya semuanya, Mas. Seolah-olah kita menjadi orang-orang yang bobrok dan membobrokkan jatidiri dan kearifan lokal bangsa Indonesia ini. Nyatanya, banyak yang mengagungkan dan berbicara lantang ketika acara masa orientasi mahasiswa baru beberapa minggu yang lalu. ‘Aku ini mahasiswa’, ‘aku ini agent of change’, ‘aku ini agent of control social’. Ah, gombalmukiyo, Mas. Iku tontonen motor ning ngarepe dhewe. Iku sing nyetir dadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas.”
Sampeyan, dhek bengi ngimpi apa Hom?”, Karjo melontarkan pertanyaan itu atas statemen yang disampaikan oleh Ndlahom sebelumnya. Yang artinya kurang lebih adalah ‘Kamu, semalam mimpi apa Hom?’. Dengan agak merasa terkejut, Karjo masih terheran-heran dari ucapan yang telah disampaikan oleh Ndlahom. Disamping itu, Karjo merasakan perbedaan yang sangat begitu signifikan dialami oleh Ndlahom. Makin hari Ndlahom kelihatan makin kritis, meskipun menyandang status mahasiswa baru beberapa minggu saja.
Percakapan Ndlahom terhadap Karjo di sela-sela perjalanan menuju kampus memang salah satunya mengkritisi sikap para pengguna jalan di sebuah pertigaan yang dekat dengan kampusnya. Pasalnya, di pertigaan tersebut terpampang lampu lalu lintas atau traffic light yang masih nyala. Lampu merah berganti dengan lampu kuning berganti dengan lampu hijau. Dan seterusnya. Traffic light hanya menyala lampu warna kuning ketika mulai jam sepuluh malam hingga jam empat pagi. Sebagai salah satu seniornya di kampus, tentu Karjo bertanggungjawab dan harus memberikan pemahaman sepenuhnya kepada Ndlahom yang notabenenya baru menyesuaikan dengan habitus yang barunya.
Kondisi traffic light itu memang tak karuan. Dia ada namun tak dianggap ada. Ada pengguna jalan yang barangkali satu-dua menganggapnya. Tak lain dan tak bukan, dia adalah baru pertama kalinya melewati pertigaan itu. Memang, dengan keadaan kurangnya kesadaran dari pengguna jalan baik mahasiswa, birokrat kampus maupun masyarakat umum adalah menjadi penyebab carut dan marutnya lalu lintas yang ada di sana. Di sana adalah ladang egoisitas dari masing-masing pribadi terlihat. Satu sama lainnya berkeinginan untuk menyebrang terlebih dahulu. Tak ada koordinasi yang begitu jalan, kecuali prinsip toleransi antar sesama pengguna jalan itu tinggi. Namun, tak banyak ditemui orang-orang seperti itu. Bahkan, hal itu hingga menyebabkan terjadinya sebuah kecelakaan.
“Memang bener, Hom. Traffic light di pertigaan ini sudah banyak orang yang tidak memperhatikannya. Aku pun setelah kuliah di sini dua tahun lamanya, pernah merasakan dan berpikiran seperti apa yang kamu ucap. Aku sudah lama juga berkeinginan untuk merubah perilaku banyak orang yang terkesan melanggar peraturan itu. Namun, kendalanya adalah sedikit orang yang berpikiran seperti aku. Ada pun, mereka tidak mau mengungkapkan kepada publik. Bahkan, kesannya malah ikut-ikutan menjadi pragmatis dan mengikuti kebiasaan lama yang masih bertahan sampai sekarang ini”, terang Karjo.
Hla terus sampeyan saiki kepriye, Mas? Mau ikut-ikutan menjadi orang yang pragmatis seperti kebanyakan pengguna jalan yang tak mengindahkan sebuah peraturan. Sampeyan mahasiswa lho, Mas. Apa gak malu, ketika sampeyan dengan lantang menjadi orator demonstrasi. Mengkritik pemerintah kesana-kemari. Melakukan aksi secara totalitas dan habis-habisan. Namun, perkara sepele kaya gini masih sampeyan langgar?”
“Aku cocok dengan pemikiranmu. Gak rugi sampeyan dadi mahasiswa ning kampus iki. Kebenaran memang harus ditegakkan setegak-tegaknya. Hukum iku gak pandang bulu berdasarkan status sosial, jabatan ataupun latar belakang yang lainnya. Dengan pertimbangan bahwasannya traffic light ini dibutuhkan guna menghindari tumpukan kendaraan menuju ke kampus atau sebaliknya. Selain itu, perkara kenyamanan dan keamanan dari masing-masing pengguna jalan adalah yang lebih utama.”
“Lha terus, Mas?”, tanya Ndlahom dengan sedikit ketus.
“Mahasiswa itu golongan intektual yang diharapkan selalu memegang prinsip dan tanggung jawab atas keilmuan yang di dapat. Mahasiswa adalah insan yang biasa berwacana. Wacana dari paling kanan hingga sampai paling kiri. Namun, yang terpenting dari kita adalah menyadarkan dari hal yang terkecil dan berimbas pada banyak orang. Aja dadi mahasiswa sing pinter wacana thok, tapi kudu dibarengi karo tindakan sing nyata”, pungkas Karjo.

Akhirnya keduanya menyepakati untuk membuat sebuah gerakan kecil-kecilan yang harapannya bisa berimbas bagi banyak orang. Terutama mengenai permasalahan yang berkaitan seriing dilanggarnya traffic light yang ada di pertigaan dekat kampusnya itu. Satu jam kemudian mereka membuat tulisan dalam sebuah papan kecil berukuran 300 cm2 dan dipasangkan di masing-masing tiang yang ada di traffic light. Tulisan itu berupa bahasa satire untuk menyindir dan menyadarkan banyak orang yang masih sering melanggar peraturan. Tulisan “Dan anggaplah aku seperti yang lain!” terpampang hingga saat ini, esok dan entah sampai kapan. Sinambi menunggu kepastian yang tak kunjung datang dan belum begitu jelas, mereka berdua ngopi bareng di sebuah warmindo yang ada di dekat traffic light itu, hingga lupa bahwa mereka pada hari itu ada Ujian Tengah Semester (UTS). (Joko)
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak