Aku sangat
begitu termangu setelah membaca beberapa percakapan demi percakapan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel Ahmad Tohari yang berjudul “Orang-orang
Proyek”. Buku yang cetakan keduanya pada bulan Oktober tahun 2015 ini
memberikan banyak pelajaran maupun hikmah baik dari segi sosial, pengetahuan,
ritual maupun budaya.
Di halaman
32-33 aku sangat begitu ingat percakapan yang dilakukan antara Kabul dengan
Dalkijo. Kurang lebihnya adalah sebagai berikut, “Dik Kabul,” sambung Dalkijo, “saya tahu Dik Kabul mantan aktivis punya
idealisme yang kolot. Tapi setelah bekerja seperti ini, Dik Kabul harus tunduk
kepada kenyataan. Sedikit pragmatislah agar tidak konyol seperti Don Kisot.
Hehe.”
Kabul
adalah seorang insinyur lulusan dari sebuah perguruan tinggi. Sosok Kabul dalam
cerita di novel tersebut dikenal sebagai aktivis mahasiswa semasa menapaki
dunia perkuliahan. Dan Dalkijo, juga merupakan seorang insinyur yang merupakan
atasan Kabul dalam proyek pembangunan jembatan di sungai Cibawor di novel
tersebut. Dengan memiliki latar belakang yang berbeda, terutama dari segi
konstruksi pemikiran, dari percakapan di atas kita bisa mengambil dua poin
penting. Poin penting tersebut adalah antara idealisme dan pragmatisme.
Lagi-lagi kita
diajaran kembali melalui sebuah penyadaran diri akan pentingnya bersikap arif
atau bijaksana. Bagaimana tidak? Bahkan lebih lanjut lagi, kita akan disadarkan
bahwasannya pendidikan yang kita tempuh sekarang dan akan berlangsung untuk
beberapa waktu ke depan adalah harus menjadi jaminan kehidupan di masa depan. Selain
bersikap arif, kita juga diajarkan kembali untuk memaknai dan meresapi apa yang
dimaksud dengan sebuah keadilan. Adil, yang seharusnya dimaknai bukan berkaitan
mengenai jumlah. Namun, ia berkaitan mengenai sebuah kebutuhan dan urgensi.
Tidak salah, kalau kita menyimpulkan bahwa adil dan arif atau bijak adalah
komponen sikap yang diharapkan senantiasa lahir dan melekat dalam setiap
mengambil keputusan dalam segala hal. Memang, tak salah ketika Pramoedya Ananta
Toer pernah berpesan “seorang terpelajar
harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan”.
Realitas
sosial hari ini memang akan selalu memberikan dinamika-dinamika kehidupan yang
baru. Dinamika kehidupan tersebut baik meliputi pada tatanan makroskopik maupun
mikroskopik. Transversal maupun longitudinal. Vertikal maupun horizontal. Ada yang
terlekang oleh waktu. Dan sebaliknya, ada yang tak terlekang oleh waktu. Namun,
kita semua harus meyakini dari semua itu pasti akan ada hikmah maupun pelajaran
berharga yang bisa kita petik. Hal tersebut, untuk digunakan sebagai bahan
refleksi diri guna menciptakan hal yang lebih baik.
Kembali
lagi, pada pembahasan mengenai idealisme dan pragmatisme. Tentu, sebagai
mahasiswa maupun golongan pemuda yang termasuk menjadi bagian dari kaum
intelektual tidak akan asing akan hal tersebut. Idealisme, merupakan aliran
ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal
yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami. Sedangkan pragmatisme merupakan
kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin,
pernyataan, ucapan, dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.
Dua hal ini memang akan menjadi hal yang saling bertolak belakang. Baik dari
asas kemanusian, pemikiran, kepentingan maupun status kelas.
Fenomena
yang dihadapi Kabul dalam menghadapi dinamika dalam proyek pembangunan jembatan
memang menjadi perseteruan antara idealisme dan pragmatisme. Terlebih, melihat background Kabul yang dulu semasa
menapaki dunia mahasiswa terkenal sebagai aktivis. Pasti, dunia aktivis
mahasiswa akan diajarkan nilai-nilai sebagai pembentuk pola pikir dari setiap
yang ada di dalamnya. Nilai-nilai tersebut, tentu merupakan bagian dari apa yang
menjadi bagian yang diperjuangkan baik di organisasi maupun yang lainnya.
Dengan mellihat contoh konkret, dunia aktivis mahasiswa tentu akan menolak
segala bentuk manipulasi yang berujung pada korupsi, kolusi maupun nepotisme,
menolak segala bentuk pembangunan yang dinilai mengancam kerusakan lingkungan,
menolak segala kejahatan yang melanggar hak asasi manusia, mengkritik
habis-habisan bahkan tak ragu untuk turun ke jalan alias demonstrasi ketika
melihat pemerintah yang tiranik. Karena ranah aktivis mahasiswa adalah membela
mereka yang menjadi bagian dari kaum lemah dan tertindas, menghindari segala
perbuatan yang medekatkan diri pada kemewahan atau hedonis, melakukan usaha bunuh diri kelas, ikut dalam forum diskusi
intelektual agar melahirkan sikap kritis serta menghindari politik praktis
dalam berbagai bentuknya.
Namun itu
semua akan terasa berbeda ketika mahasiswa sudah mengakhiri dunia kuliahnya
yang biasa ditandai dengan prosesi pemakaian toga. Setelah itu, dia bebas
memilih mau kemana dan dimana akan mengabdikan ilmu yang telah didapatkannya
selama menempuh pendidikan di berbagai jenjang yang ada. Lulusan perguruan
tinggi yang luar biasa adalah mereka yang akan masih berprinsip serta
memperjuangkan apa pola pikir yang telah dibangun selama menjadi mahasiswa.
Misalnya, tidak akan melakukan tindakan korupsi, kolusi maupun nepotisme di
ranah pekerjaannya. Bahkan, jikalau bisa menjadi atasan tidak akan pandang bulu
ketika bawahannya melakukan kesalahan. Contoh lain adalah mereka yang mungkin
terjun dalam ranah pembangunan, akan memperhatikan dan mempertimbangkan dengan
matang mengenai masyarakat maupun lingkungan sekitar. Dan akan masih banyak
contoh yang lain.
Kabul
adalah contoh nyata. Terjunnya ia dalam sebuah pembangunan adalah pilihan yang
harus ditempuh di pekerjaannya. Ia, meskipun disebut sosok aktivis yang mungkin
akan terus menjaga idealismenya. Namun dibalik itu ada banyak hal yang
membuatnya gusar. Keberpihakan sebagian banyak dari rekan-rekan kerjanya yang
mungkin jauh dari kemanusiaan. Banyak dari mereka yang melakukan
perilaku-perilaku yang tidak memperhatikan standar operasional dalam
pelaksanannya. Banyak dari mereka yang melakukan suap-menyuap, korupsi dalam
transaksi material sebagai penunjang dalam proyek. Bahkan, banyak dari mereka
yang lulusan dari perguruan tinggi ternama tidak benar-benar
mempertanggungjawabkan keilmuan yang telah ia dapat. Maka tak salah kalau kita harus kembali mengingat dan merenungi nasihat dari seorang Tan Malaka “idealisme adalah kemewahan terakhir yang
dimiliki oleh pemuda.” (Joko)
Tags
Esai