Jalan Tol dan Pentingnya Jeda

Saya makin menyadari bahwa kehidupan yang kenyataannya terus menuntut serba cepat dan kesadaran bergegas ini membutuhkan sebuah antitesis. Bahwa yang sedemikian rupa, baik gagasan, prinsip, maupun ide yang berlaku pada umumnya harus mudah dicurigai dengan hal lain berupa budaya tanding bernama wacana alternatif. Dalam sekian permenungan, akhirnya saya sadar: dalam menjalani kehidupan, kita perlu menaruh jeda.

Jeda itu penghelaan napas dan transformasi kesatuan energi. Di dalam struktur tulisan, jeda tentu berhubungan dengan spasi. Barangkali dengan pengadaan spasi itulah—dalam hidup, kita dapat merasakan keberadaan makna jarak, ruang, dan waktu. Itulah mengapa penulisan Arab Saudi itu lazimnya menyertakan spasi dan tidak membuatnya bergendengan, sebab di sana ada kota bernama Jeddah.

Spasi ini dalam struktur tulisan memang bagaikan hantu. Ia tak kasat mata, namun begitu mulia dan besar peranannya dalam peradaban manusia. Suatu saat pada sebuah liputan berita dalam salah satu stasiun televisi, seorang reporter memberi keterangan dan pertanyaan kepada narasumber yang kurang lebih pengucapannya begini: “Oke. Ada upaya ya dari Jasa Marga untuk diskontol, ya? Diskontol 20% saat arus balik pada 27 – 29 April mendatang. Seperti apa syarat dan penerapannya diskon tarif tol ini?”

Situasi yang tak jauh beda, ketika reporter dalam stasiun televisi lain melakukan wawancara dengan narasumber melalui sambungan dalam jaringan. Narasumber tersebut memberi pernyataan berupa: “Keyakinan yang kita selalu bina melalui program namanya IKON. IKON itu sudah ada sejak dulu. IKON ini Inovasi, Kreatif, dan Kolaborasi Nusantara. Di mana setiap daerah itu kita e…, apa, bina dengan mengirim para desainer kita selama beberapa bulan untuk tinggal di sana dan menghasilkan karya-karya sesuai khas daerahnya. Dan ini, rasanya ini menjadi ide untuk saya untuk bikin IKONTOL. Ya. IKONTOL. E.., Maksud IKON TOL area gitu, ya.”

Sekilas, kita sebagai pemirsa tentu mudah mendatangkan gelak tawa. Tapi, itu bukan permasalahannya. Masalahnya adalah kita, makin hari—dengan pergeseran yang dihadirkan di dunia digital—makin menganggap kesalahan berbahasa adalah hal lucu dan lumrah yang bagi kita perlu ditertawai, sekalipun berkonotasi negatif. Naga-naganya, pelajaran dari kejadian itu adalah kita betul-betul diajak memperhatikan perkara bahasa dalam lanskap komunikasi publik, dan mungkin juga pada melesatnya percakapan di dunia digital.

Baik kata “Diskontol” maupun “Ikontol” dalam pengucapan itu tentu secara denotasi melibatkan spasi. Dengan demikian, yang sesuai adalah “Diskon Tol” dan Ikon Tol”. Terbayar sudah hutang kita terhadap satu masalah. Selanjutnya, kita malah mengingat kata “Tol”. Kata itu identik dengan jalan—“Jalan Tol”. Konon, Pak Jokowi dalam kepemimpinannya menjadi presiden mudah diingat karena program pembangunan jalan tol yang melintang dan menghubungkan kota demi kota.


Kita tak perlu mencari data menuju babak akhir sepuluh tahun kepemimpinan Pak Jokowi. Justru, kita malah tertarik dengan data sebelum Pak Jokowi resmi menjadi presiden. Di Majalah Tempo edisi 19 Januari 2014 tepatnya rubrik “Angka” pada halaman 12, kita dapat mengerti data panjang jalan di Indonesia. Keterangan di rubrik itu: PANJANG JALAN DI IDONESIA TAK PANJANG.

Itu merujuk dengan perbandingan terhadap beberapa negara. Thailand, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Dari negara tersebutkan, jalan tol paling panjang adalah Malaysia dengan panjang 846 KM. Sementara Itu, Indonesia sepanjang 760 KM. Pernyataan penting lain dalam liputan itu saya rasa terletak pada kalimat: “Pemerintah menyatakan akan menambah jalan tol hingga 950 kilometer menjadi 1.710 kilometer pada 2014. Ini berasal dari proyek jalan tol dalam jaringan trans Jawa dan nontrans Jawa yang sempat terbengkalai.”

Dalam pengisahan dan pemberitaan, jalan tol adalah lanskap pembangunan, efektivitas, dan kecepatan. Jalan tol adalah imajinasi politik, ekonomi, hingga bisnis, kendati kita sulit mengerti nasib dan derita yang muncul. Tol itu butuh lahan. Pembangunan jalan tol kadang perlu menggusur rumah, sawah, dan lahan produktif. Kita mudah dibuai atas nama “Ganti Untung”. Kalau tak salah, sepanjang menengok beberapa pembangunan, banyak masalah yang sampai membuat para aktivis melakukan advokasi.

Hanya, dengan mudahnya kehendak gagasan pada umumnya, yang pada kenyataanya tak bisa banyak berpengaruh—gerakan mereka yang bisa disebut sebagai wacana alternatif itu kadang tak berbuah pada konsensus bersama. Tapi, inilah hidup. Tugas kita hanya berjuang. Akhirnya kita mengerti, perpanjangan jalan tol terus dilakukan. Sebagaimana mestinya, penegasan-penegasan itu tentu pada kemajuan ekonomi dan pembangunan. Kita hanya bisa memberikan amanah kepada para pejabat, semoga kebijakan tersebut benarlah bermaslahat.

Namun, agaknya kita belum pernah radikal, dengan mengajukan pertanyaan yang meskipun bisa saja dianggap sebagai pertanyaan bodoh dan retoris. Misalnya: Siapa pencetus konsep jalan tol? Mengapa kendaraan roda dua tidak diperbolehkan masuk jalan tol? Berapa kali dalam setahun sepanjang menjadi presiden, Pak Jokowi melewati jalan tol? Setiap jam berapa saja jalan tol tidak ada kendaraan yang melintas?


Rasanya, saya pun bingung untuk menari jawaban dari pertanyaan tersebut. Kita malah diingatkan dengan sebuah buku berjudul Menaja Jalan: Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia garapan Jamie S. Davidson. Buku itu terbit pertama kali di Singapura pada 2015. Dalam edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Achmad Choirudin dan diterbitkan INSISTPress pertama kali pada Februari 2019.

Di bagian awal, Jamie memberikan keterangan: “Akhirnya, Indonesia memiliki pengalaman dalam pembangunan jalan tol. Pada 1970-an dan 1980-an, perusahaan jalan tol milik negara, Jasa Marga, telah membangun sejumlah jalan tol yang relatif pendek di kawasan Jakarta Raya dan beberapa kota besar termasuk Semarang, Surabaya, dan Medan.”

Keterangan bersejarah. Tol itu proyek yang menyambungkan modal dan kepentingan. Tol juga melahirkan cara pandang baru dalam perkara kebudayaan. Duh, kita malah teringat Emha Ainun Nadjib. Kita membuka salah satu bukunya yang berjudul Sedang Tuhan pun Cemburu: Refleksi Sepanjang Jalan (SIPRES, 1994). Ada “Jalan” dalam judul buku itu. Selain pelibatan jalan dalam tulisan, kita lekas mencari istilah otomotif. Penyusunan bab meggunakan sekian istilah otomotif, seperti: Trotoar, Halte, Traffic Light, Parkir, Tikungan, hingga Trayek.


Di beberapa tulisan, kita mudah menemukan lema “mobil” dan “motor”. Sementara penjelasan tol kita temukan dalam tulisan berjudul “Transformasi Jalan Tol” yang merupakan hasil diskusi Pojok Beteng Kulon. Emha membuat sebuah analogi “Generasi Jalan Tol” atau “Transformasi Jalan Tol” di sebuah tanggapan. Kita simak pengakuan awal: “Sebelumnya maafkan saya dengan metafor ini. Pertama-tama, andong dan becak dilarang lewat jalan tol.”

Emha membaca jalan tol bukan hanya pada perkara pembangunan, akan tetapi berurusan dengan kebudayaan dan politik yang terjadi. Penjelasan berikutnya: “Tetapi pada saat yang sama, karena kendaraan di jalan tol harus berjalan cepat, para pengendara sangat sedikit berpeluang untuk menoleh ke kiri atau ke kanan: itu potensial bagi tumbuhnya egosentrisme dan ketidakpedulian sosial.” Dari jalan tol, kita tahu banyak hal yang perlu dijadikan taruhan. Kita menikmati itu, terkadang tanpa menaruh jeda.[]

 

*Joko Priyono. Fisikawan Partikelir. Penulis Buku Bersandar pada Sains (2022).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak