Review Buku “Freeport, Fakta-fakta yang Disembunyikan”
Tak ada
yang salah dari penggalan lagu karangan dari Edo Kondologit, penyanyi kelahiran
Sorong tanggal 5 Agustus 1967 silam. Kurang lebihnya adalah sebagai berikut “Kami tidur di atas emas, berenang di atas
minyak, tapi bukan kami yang punya. Kami hanya menjual buah-buah pinang”.
Itu adalah cerminan bagaimana keadaan tanah Papua hingga kini. Menjadi budak di
tanah sendiri, segala kekayaan dikuasai korporasi asing dengan segala bentuk
maupun metode kejahatannya. Nasionalisasi aset-aset negara yang dikuasai oleh
asing, nampaknya hanya menjadi usulan yang selalu diamanahkan kepada setiap
pemimpin di negeri ini. Di luar itu hanyalah hasil yang menyatakan sebuah kenihilan.
Nyatanya
memang begitu. Kita belum sepenuhnya merasakan atas apa kekayaan yang ada di
bumi Papua itu. Hanya kurang lebih 1 % saja penghasilan murni dari Freeport
yang diberikan kepada Indonesia. Selebihnya, adalah milik mereka para pemilik
korporasi maupun pemilik modal. Kompromi demi kompromi yang dilakukan oleh para
pemangku kebijakan pun seolah hanya menjadi omong kosong semata. Hal tersebut
terbukti dari sejarah perjalanan Freeport itu sendiri. Usaha Soekarno, ketika
masih menjabat menjadi Presiden Indonesia merebut Papua Barat (Irian Barat)
dari cengkeraman imperialisme adalah salah satu bentuk untuk mencegah kegiatan
eksploitasi yang dilakukan terus-menerus. Namun, setelah dilakukan proses
penandatanganan kontrak pada tanggal 7 April 1967 itulah derita bangsa ini pun
dimulai. Hingga kini, nampaknya belum ada usaha yang masif dari pemerintah
untuk menasionalisasikan salah satu aset bangsa tersebut.
Adalah Jean
Jaques Dozy, seorang geologiwan muda dari Belanda kala itu yang membuat dokumen
dengan nama “dozy”. Dokumen tersebut merupakan hasil penelitian beliau di
pegunungan Cartenz, Papua pada tahun 1936. Hasil penelitian yang begitu
spektakuler dan menyebut gunung itu sebagai Gunung Ertsberg. Berbekal dengan
dokumen tersebut, salah satu orang yang pernah menjabat sebagai direktur
Freeport Sulphur, Forbes Wilson pada tahun 1959 akhirnya melakukan sebuah
ekspedisi. Temuan yang hampir membuatnya gila, karena gunung tersebut
menyajikan kekayaan berupa emas yang tak perlu digali lagi, sudah berserakan di
permukaan. Hingga sekarang Freeport terus menjadi ‘kutukan’ turun temurun dari
pemerintah ke pemerintah. Beroperasinya perusahaan yang berbasis di New Orlean,
Lousiana, Amerika Serikat ini adalah masa terselamatnya dari ‘gulung tikar’.
Hal tersebut bisa dikatakan karena Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. yang
sebelumnya bernama Freeport Sulphure Company dan beroperasi di Kuba itu nyaris
bangkrut akibat revolusi sosial yang dipimpin oleh Fidel Castro dan Che
Guevara.
Nasib Buruh Pribumi
Freeport di
Indonesia diberikan berbagai keistimewaan oleh Pemerintah Indonesia.
Sebagaimana dituliskan pada sebuah buku tulisan Ross Garnaut dan Chris Manning
dengan judul “The Transformation of a
Melanesian Economy” pada tahun 1979. Selama tiga tahun beroperasi, Freeport
mendapatkan beberapa keistimewaan yang di antaranya adalah dibebaskan dari
pembayaran pajak (tax holiday), dan
tidak diwajibkan untuk membayarkan biaya sewa tanah dan royalti kepada
Indonesia, sebelum adanya kesepakatan yang diperoleh antara Freeport dan
pemerintah Indonesia. Kesepakatan itu menyatakan bahwa Freeport diwajibkan
membayar royalty 35,5% dan 41,75% setelah tujuh tahun dan selanjutnya. Namun
dalam realitanya, sejak kontrak pertama hingga perpanjangannya yang selesai
pada tahun 2041, Freeport hanya diwajibkan untuk membayar royalti 1,5 – 3,5%,
sementara royalti emas hanya 1%. Itu pun sering menunggak, sebagaimana
dilaporkan oleh ICW, tunggakan Freeport dalam kurun waktu 2002 – 2010 sebesar
176,884 juta dollar AS atau sekitar Rp.1,591 triliun.
Persoalan kenyataan
ihwal royalti itu pun berdampak dengan keadaan para buruh yang dalam hal ini
notabenenya asli pribumi. Buruh yang bekerja di Freeport itu sendiri
masing-masing terbagi menjadi tiga kelompok, yakni kelompok pertama adalah
buruh asli dari Amerika Serikat, kelompok yang kedua adalah kelompok buruh yang
berasal dari Filipina, Korea, Australia dan Jepang serta kelompok yang ketiga
adalah buruh yang berasal dari pribumi, dalam hal ini adalah sangat mengenaskan.
Terdiskriminasi dengan pemberian upah yang lebih kecil dibanding dengan buruh
Indonesia merasa rendah diri. Tak berhenti sampai di situ saja. Di luar
persoalan yang telah disebutkan adalah masih banyak permasalahan yang dialami
oleh warga Papua secara lingkup global. Persoalan gizi buruk, rusaknya lahan
akibat terus dieksploitasi, hingga persoalan ancaman limbah Freeport terhadap
kesehatan yang berupa bahan beracun dan berbahaya (B3).
Refleksi untuk
Kita Bersama
Freeport
adalah tanggung jawab kita semua. Selain para pemangku kebijakan yang senantiasa
diharapkan menyelesaikan persoalan ini, namun rakyat Indonesia juga harus
bersama-sama untuk mengusahakan nasionalisasi salah satu aset bangsa ini.
Freeport hanyalah menjadi satu bagian dari aset tambang bangsa ini selain aset
lain yang dimiliki oleh bumi pertiwi ini, baik tambang emas, tambang tembaga,
tambang batubara hingga tambang minyak bumi. 20 Mei 2013, pernah ada sebuah
gugatan yang berasal dari Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN menuntut agar
perusahaan pertambangan Freeport segera ditutup. Meskipun dalam keberjalannya,
hanya berujung pada sebuah pengabaian.
Regulasi
yang meliputi kebijakan dari pemerintah dengan Freeport harus segera dibuat
formulanya. Hal tersebut dengan tujuan kebaikan bagi pemerintah Indonesia.
Selain itu adalah bagaimana caranya untuk menentang sebuah kepentingan kapital.
Kepentingan yang berorientasi kepada para pemilik modal saja, mengeksploitasi
tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun, mengeruk kekayaan yang ada di bumi
Indonesia yang berjalan hingga saat ini. Ketidakadilan pun muncul dengan tercermin
pada penerimaan negara yang kecil dibandingkan keuntungan yang diperoleh
Freeport. Dari tahun ke tahun Freeport terus akan menikmati keuntungan melimpah
hingga 2041 jika kita tak mau melakukan perubahan kontrak.
Judul : Freeport, Fakta-fakta yang
Disembunyikan
Penulis : Paharizal, S.Sos.,M.A & Ismantoro
Dwi Yuwono, S.H
Penerbit : Narasi
Kota Terbit : Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2016
Jumlah Halaman : 200 halaman
ISBN : 979-168-487-1
-Joko
Priyono
*)Pernah
dimuat dalam situs qureta
: http://www.qureta.com/post/freeport-yang-disembunyikan
Tags
Kabar Buku